Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

“I am not an individual — I am the people”

Jumat, 13 Januari 2023 | 9:27:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2023-01-13T02:32:52Z


BALI - Waktu bergulir menunjukkan pukul 09.00 tepat dimana rangkaian acara akan berlangsung di mana forum diskusi kecil akan berlangsung.

Diskusi kecil ini sebenarnya sederhana, berbicara tentang bingkai kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa, dan secara kebetulan saya menjadi bagian kecil yang dijadikan teman ngobrol oleh anak-anak muda untuk mengenal tentang rangkai bingkai kebhinekaan.

Dan, di ujung diskusi kecil ini saya coba menitipkan pesan kepada adik-adik generasi emas Indonesia dengan 3 hal pokok untuk bersiap dan berjuang berhadapan musuh yang hadir di depan mata:
1. Ujaran kebencian
2. Intoleran 
3. Radikalisme 
Hanya 3 hal saja yang coba saya titipkan ke anak-anak muda masa depan Indonesia emas .

Desa Adat
Sebenarnya materi diskusi yang saya usung tak luput dari perjalanan beberapa saat lalu di sebuah daerah yang memiliki alam dengan geopark nya Indonesia, sebuah desa yang masih berpegang teguh dengan kearifan lokal dengan desa adatnya.

Sebuah nama yang jarang muncul ke permukaan yaitu Raden Gedarip pemimpin adat Sasak desa Bayan di sisi utara lereng gunung Rinjani, gunung dengan pesona alamnya yang luar biasa indah dan jika anda pernah mengunjungi dan mendaki Rinjani serasa berada di era Jurasic dengan alam seakan-akan masih ada hewan-hewan dijaman Jurasic  itu tiba-tiba terbayang muncul di depan mata.
 
Ada menariknya desa Adat Bayan dan nama Raden Gedarip sebagai bahan materi diskusi saya di atas?

Bayan adalah desa tua masuknya islam di Lombok dan di klaim memiliki masjid tertua sejarah islam pertama kali masuk ke Lombok.
Di desa Bayan masih terdengar denyutan jantung kebudayaan kuno, suatu kebudayaan yang berada jauh di luar dinamika hidup yang menjelma diberbagai tempat di pulau Lombok. 

Kebudayaan yang kuno lagi tradisional ini tetap bertahan dan memberikan corak yang khas dan tertentu bagi agama Islam. Kekhasan corak yang diberikannya itu dapat berakibat bahwa orang secara tidak tepat sering memandangnya sebagai suatu kulit luar belaka dan bukan sebagai hasil pengolahan di dalam kebudayaan kuno
 
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Islam Wetu Telu masih tetap berpegang pada tata aturan dan nilai-nilai tradisi lama yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyangnya. Tata aturan dan nilai-nilai tersebut oleh masyarakat Islam Wetu Telu disebut pemaliq
  
Pemaliq bagi masyarakat Islam Wetu Telu di Bayan, bukan hanya sekumpulan larangan atau pantangan yang sudah baku tetapi juga merupakan aturan main yang harus dipegang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adanya tata aturan dan nilai-nilai itu dimaksudkan untuk memudahkan hubungan sesama mereka sebagai suatu kelompok yang saling bantu membantu, tolong-menolong dan merupakan kepentingan sosial yang tercermin di dalam adat kebiasaan individu-individunya disebut etika. Etika dapat berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya

Demikian sepenggal catatan perjalanan desa adat beberapa waktu yang lalu dan membekas didalam ingatan tentang peran kuat desa adat membentengi ancaman disintegrasi anak bangsa.

Populis

Apakah sosok Raden Gedarip pemimpin adat desa Bayan populis?

Ya….di katakan populis karena beliau adalah punggawa desa adat yang tetap teguh membentengi adatnya dengan kearifan lokal yang membumi dan tetap selaras dengan alam dan segala mahluk ciptaanNya.

Tidak…. hanya orang tertentu saja yang menganggap beliau populis, hanya di daerah setempat saja, tapi…..itu sudah  cukup membuktikan bahwa beliau sosok yang setia melindungi desa dengan adatnya terhadap bahaya perpecahan!

Populis sebenarnya memiliki padanan arti yang merujuk pada “paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil”.

Narasi Populis kehidupan Demokrasi

Melihat definisi tersebut, populisme adalah sebuah paham yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, terutama rakyat kecil, ya? Namun, berdasarkan ilmu politik, makna populisme nggak hanya itu saja.
Dilansir dari BBC, ada dua kelompok besar di dalam masyarakat yaitu kelompok the pure people dan the corrupt elite, menurut Cass Mudde, selaku penulis Populism: A Very Short Introduction.

Jadi guys, berhubung populisme ini mendukung “rakyat kecil” atau “keinginan rakyat”, rakyat miskin atau yang suaranya nggak didengar, itu disebut pure people.
Contohnya, biasanya di suatu negara itu, orang miskinnya jauh lebih banyak  dibanding orang kaya, dan mereka butuh bantuan. Masyarakat miskin ini yang dipandang sebagai pure people yang perlu mendapatkan perhatian.
Nah, kalau kita mengacu pada paham populisme, berarti kita akan mengutamakan kesejahteraan masyarakat miskin, kan? Itu hal yang baik, kan?
Masalahnya, di dunia politik terutama pada zaman modern, populisme ini kerap digunakan sebagai metode untuk menarik suara dukungan masyarakat yang merasa nggak didengar pemerintah, baik di negara demokrasi maupun otoriter.

Bagaikan udang di balik bakwan, bisa jadi seorang calon pemimpin, yang membutuhkan dukungan rakyatnya, memfokuskan kebijakan untuk menarik suara rakyat dari kalangan tertentu, terutama yang jumlah populasinya banyak.

Perlu diketahui juga, bahwa ini nggak melulu soal finansial saja, bukan tentang masyarakat kaya dan miskin saja.
Bisa saja berkaitan dengan kepercayaan, ras, agama, golongan, atau bahkan, kelompok lainnya.
“I am not an individual — I am the people”

Narasi yang sering muncul di tahapan 5 tahun rutinitas kehidupan demokrasi negara kita.


Semoga di tahun ini bisa lagi mengunjungi indahnya desa adat dengan pesona alam dan kearifan lokalnya yang membumi yang selaras dengan keindahan, kedamaian dan nama Theos di sanjung dengan khidmatnya.


NTT dan Papua…..aku menulismu di 2023 ini bersama kerilku! 

Keterangan Raden Kedarip
Penulis Budi Satria
Editor Redaksi
×
Berita Terbaru Update